Minggu, 14 Juli 2013

Tinjauan dan Konsep Daya Saing Maritime Logistics Indonesia

Michael Porter, mengidentifikasikan bahwa daya saing (competitiveness) adalah sebgai suatu kemampuan negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan-kegiatan perusahaannya dan untuk mempertahankan tingkat kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Sedangkan Esterhuizen et. al. (2008) mendefinisikan bahwa daya saing (competitiveness) adalah sebagai kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan didalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumberdaya yang digunakan.

Ada dua hal yang muncul jika kita membicarakan masalah daya saing, pandangan pertama menyatakan bahwa konsep daya saing berlandaskan pada konsep keunggulan komparatif yang disebut sebagai konsep ekonomi, namun padangan lain menyatakan bahwa konsep daya saing bisa disebut juga sebagai keunggulan kompetitif yang ini yang merupakan cara pandang bukan konsep ekonomi, melainkan konsep politik atau konsep bisnis yang dapat digunakan sebagai dasar analisis strategik dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan.

Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali (Simatupang, 1991) dan Sudaryanto dan Simatupang (1993). Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan kompetitif merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Terkait dengan konsep keunggulan kompetitif adalah kelayakan ekonomi dan terkait dengan konsep keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Sumber distorsi yang dapat mengganggu tingkat daya saing antara lain antara lain adalah:
  1. Kebijakan pemerintah (goverment policy) baik yang bersifat langsung (seperti tarift) maupun tak langsung (seperti regulasi)
  2. Distorsi adanya monopoli/monopolistik domestik.
Dalam hal ini dapat terjadi dikeunggulan komparatif di tingkat produsen dimana memiliki biaya oportunitas yang relatif rendah, namun di tingkat konsumen (pengguna jasa logistik) tidak memiliki daya saing (keunggulan kompetitif) karena adanya distorsi pasar dan biaya transaksi yang tinggi. Atau dapat terjadi sebaliknya, karena dukungan dari pemerintah suatu produk, jasa (logistik) memiliki daya saing di tingkat konsumen (pengguna jasa logistik) padahal sebenarnya tidak memiliki keunggulan komparatif di tingkat produsen.

Daya saing sendiri dapat di tinjau dari perspektif mikro (firm) ke perspektif daya saing bangsa (Porter). Dalam bukunya Porter menyampaikan bahwa pentingnya inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan daya saing, konsep tersebut dikenal sebagai berikut:
  1. Faktor Kondisi, yaitu posisi negara dalam hal penguasaan faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur, merupakan syarat kecukupan untuk bersaing dimana industri sudah given.
  2. Kondisi Permintaan, secara alamiah besarnya permintaan pasar domestik (home market) untuk produk-produk dan jasa-jasa industri.
  3. Industri-industri yang terkait dan pendukung, adanya industri pemasok (pendukung) dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan daya saing industri-industri di pasar internasional.
  4. Strategi perusahaan, struktur dan rivalry, kondisi pemerintah di dalam suatu negara bagaimana perusahaan-perusahaan diciptakan, diorganisasi dan di kelola sebaik persaingan domestik secara alamiah.
Ada dua variabel lagi yang dimasukan oleh Porter dalam daya saing, yaitu peranan kesempatan dan peranan pemerintah yang turut akan mempengaruhi model.


World Competitiveness Index
World Economic Forum (WEF), adalah sebuah yang melakukan pemeringkatan daya saing di dunia. Sejak tahun 2005 WEF menggunakan World Competitiveness Index (WCI) sebagai basis analisis daya saing. Definisi daya saing (competitiveness) menurut WEF adalah “the set of institutions, policies, and factors that determine the level of productivity of a country.” Sedangkan pengertian tingkat produktifitas (the level of productivity) adalah “the level of prosperity that can be earned by an economy”. WCI diukur dengan menggunakan 12 pilar yang dikelompokkan dalam tiga subindeks seperti terlihat pada Gambar 5.1. di bawah ini. Setiap pilar terdiri dari beberapa indikator pengukuran dengan total kesuluhan sebanyak 111 indikator.


Gambar 1. Global Competitiveness Index framework (2012-2013)

Dari 12 pilar tersebut digolongkan menjadi tiga kelompok besar penentu daya saing, yaitu kelompok persyaratan dasar (basic requirements), kelompok penambah/peningkat efisiensi (effisiency enhancers) dan kelompok inovasi dan kecanggihan (innovation and sophistication).

Diantara negara-negara ASEAN, setelah Singapura, negara yang tertinggi peringkat daya saing tahun 2012 adalah Malaysia (ke 25), disusul Brunei Darussalam (28), Thailand (38). Indonesia berada di urutan ke empat dengan posisi ke 50. Negara tetangga Timor-Leste menempati urutan terakhir (ke 136). Negara-negara ASEAN yang mengalami kenaikan indeks daya saing terbesar sejak 2008 adalah Kambodia (24 tingkat), Brunei Darussalam (11), Filipina (6), Indonesia (5) dan Singapura (3). Sedangkan Malaysia, Thailand, Vietnam dan Timor Leste mengalami penurunan peringkat daya saing selama 2008-2012, sebagaimana terlihat pada Tabel 4.1 berikut di bawah ini.

Tabel 1. Indeks Daya Saing Negara-negara ASEAN 2012
Negara
2008
2012
Perubahan
1
Singapura
5
2
3
2
Malaysia
21
25
-4
3
Brunei Darussalam
39
28
11
4
Thailand
34
38
-4
5
Indonesia
55
50
5
6
Filipina
71
65
6
7
Vietnam
70
75
-5
8
Kambodia
109
85
24
9
Timor-Leste
129
136
-7
Tahun ini Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global, dari posisi ke 46 (2011) menjadi ke 50 (2012). Peringkat terbaik Indonesia adalah pada tahun 2010 (ke 44), yang meloncat dari posisi ke 54 dari tahun sebelumnya. 

Indeks daya saing menurut WEF dibentuk oleh 3 unsur utama, yaitu persyaratan dasar, penopang efisiensi, faktor inovasi dan kecanggihan. Dari ke tiga unsur utama ini, selama tahun 2011-2012 hanya unsur terakhir yang mengalami kenaikan peringkat, walau hanya satu tingkat. Sedangkan dua unsur lain mengalami penurunan peringkat, yang terburuk adalah unsur pertama yaitu persyaratan dasar sebagaimana terlihat pada Gambar 4.1. di atas. Perlu menjadi perhatian bahwa selama periode 2008-2012, unsur persyaratan dasar mengalami kenaikan peringkat dengan cukup tajam (dari 76 ke 58), sedangkan ke dua unsur lain mengalami penurunan. Negara-negara berkembang yang sedang menapak menjadi negara maju umumnya mengalami peningkatan peringkat dalam unsur ini. Jadi Indonesia menunjukkan jejak yang berbeda dengan sebagian besar negara lain dalam pola perubahan daya saing global selama lima tahun terakhir ini.

Dianalisis secara lebih mendalam, terlihat bahwa pilar kesiapan teknologi, efisiensi pasar barang dan kecanggihan bisnis menunjukkan peningkatan dari keadaan tahun 2011. Sedangkan ke 9 pilar lain menunjukkan penurunan dalam peringkat daya saing. Cukup menonjol adalah pilar efisiensi pasar tenaga kerja, yang merosot dari peringkat 94 dunia menjadi ke 120. Aspek ketenagakerjaan inilah penyebab merosotnya daya saing Indonesia pada tahun 2012.

Dalam pilar kelembagaan, indikator daya saing yang mengalami kenaikan adalah antara lain transparansi perumusan kebijakan pemerintah (6), kekuatan standar akuntansi dan pelaporan (7), perilaku etis perusahaan (11) dan kemampuan manajemen (11). Sedang indikator yang mengalami penurunan adalah antara lain pelayanan pemerintah untuk mendorong bisnis (-21), praktek penyuapan (-8), dampak terorisme bagi dunia usaha (-7), kriminalitas terorganisasi (-7).

Dalam pilar infrastruktur, indikator yang mengalami perbaikan peringkat adalah antara lain pelanggan telpon gerak (4) dan kualitas pasokan listrik (5), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain Sambungan telpon tetap (-11), kualitas infrastruktur umum (-10), kualitas infrastruktur transportasi udara (-9).

Dalam pilar lingkungan ekonomi makro, indikator yang mengalami kenaikan peringkat daya saing adalah antara lain peringkat kredit negara (7) dan inflasi (15), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain neraca anggaran dan belanja pemerintah (-15).

Dalam pilar kesehatan dan pendidikan dasar, indikator yang mengalami kenaikan daya saing adalah antara lain kematian bayi (3), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain dampak HIV/AIDS bagi dunia usaha (-12), dampak TBC bagi dunia usaha (-10), dan harapan hidup (-8).

Dalam pilar pendidikan tinggi dan pelatihan, indikator yang mengalami perbaikan adalah antara lain kualitas pendidikan matematika dan keilmuan (8) dan pelatihan karyawan (13), sedang indikator yang mengalami penurunan adalah antara lain akses internet sekolah (-7) dan tingkat partisipasi pendidikan menengah (-4).

Dalam pilar efisiensi pasar barang, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain efektivitas kebijakan anti monopoli (12), beban prosedur kepabeanan (12), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain intensitas kompetisi lokal (-7) dan cakupan dan efek perpajakan (-7).

Dalam pilar efisiensi pasar tenaga kerja, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain kerjasama hubungan buruh-pengusaha (7), dan peran manajemen profesional (18), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain biaya redundansi (-6) dan upah dan produktivitas (-6).

Dalam pilar kemajuan pasar uang, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain keberadaan teknologi terbaru (2), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain indeks hak memperoleh keadilan (-13) dan pembiayaan melalui pasar saham lokal (-5).

Dalam pilar kesiapan teknologi, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain pita lebar internet (14) dan pengguna internet (17), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain PMA dan transfer teknologi (3) dan pelanggan internet pita lebar (4).

Dalam pilar besar pasar, indikator yang mengalami kenaikan daya saing adalah antara lain pendelegasian kewenangan (16), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain ekspor/PDB (-1).

Dalam pilar kecanggihan bisnis, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain kecanggihan proses produksi (5), cakupan pemasaran (5), dan kualitas pemasok lokal (6), sedang indikator yang mengalami penurunan adalah antara lain kuantitas pemasok lokal (-10), sifat keunggulan daya saing (-6) dan kepanjangan rantai nilai (-1).

Terakhir, dalam pilar inovasi, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain lelang pemerintah untuk produk teknologi maju (5) dan belanja riset perusahaan (6), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain indikator paten per sejuta penduduk (-15) dan jumlah ilmuwan dan insinyur (-6).

Penurunan peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2012 ini seharusnya membuat pemerintah dan dunia usaha segera mencari jalan keluar mengatasi penyebab penurunan daya saing tersebut. Indeks daya saing global yang dibuat oleh WEF dapat menjadi rujukan untuk menentukan perbaikan yang perlu dilakukan. Selain itu, dengan belajar dari negara-negara lain yang menunjukkan kenaikan indeks cukup signifikan, dapat dipelajari kebijakan apa yang perlu dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan indeks daya saing.

Laporan periodik WEF tahun 2012 ini juga menyertakan kendala-kendala yang menghambat untuk berusaha di Indonesia, antara lain: birokrasi pemerintah yang tidak efisien, korupsi, keterbatasan infrastruktur, etika kerja yang buruk, hambatan peraturan perburuhan, dan lain-lain.

Logistic Performace Index
Logistic Performance Index (LPI) adalah, sebagai tolok ukur kinerja logistik yang sederhana, dengan LPI ini akan mencerminkan dalam perspektif global, apakah sebuah negara terkoneksi secara global. LPI diukur berdasarkan enam indikator yaitu:
  1. efisiensi proses clearance (bea cukai) (kecepatan, kemudahan dan terukur secara formal)
  2. kondisi infrastruktur perdagangan dan transportasi (pelabuhan, perkeretaapian, jalanan dan teknologi informasinya)
  3. kemudahan mencari kapal pengakutan barang
  4. kompetensi dan kualitas jasa logistik
  5. kemudahan proses pelacakan dan penelusuran barang
  6. ketepatan waktu. 
Berdasarkan data dari Logistic Performace Index (LPI) yang di keluarkan tahun 2012 Indonesia berada pada peringkat 59 dengan score LPI 2,94 dibawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam sebagaimana terlihat pada Tabel 2.

Tabel. 2. Kinerja Logistik Negara ASEAN 2012


Peringkat LPI Dunia
Score LPI
Kepabeanan
Infrastruktur
Pelayaran Internasional
Daya Dukung Logistik
Tracking and Tracing
Ketepatan Waktu
Singapura
1
4.13
4.10
4.15
3.99
4.07
4.07
4.39
Malaysia
29
3.49
3.28
3.43
3.40
3.45
3.54
3.86
Thailand
38
3.18
2.96
3.08
3.21
2.98
3.18
3.63
Filipina
52
3.02
2.63
2.80
2.97
3.14
3.30
3.3
Vietnam
53
3.00
2.65
2.68
3.14
2.68
3.16
3.64
Indonesia
59
2.94
2.53
2.54
2.97
2.85
3.12
3.61
Laos
109
2.50
2.38
2.40
2.40
2.49
2.49
2.82
Kamboja
101
2.56
2.30
2.20
2.61
2.50
2.77
2.95
Myanmar
129
2.37
2.24
2.10
2.47
 2.42
2.34
2.59
Sumber : The Logistic Perfomance Index and Its Indicator , World Bank (2012)

Dalam LPI ada beberapa komponen yang menyususnnya yaitu kepabeanan (custom), infrastruktur, pelayaran internasional, daya dukung logistik, traking dan ketepatan waktu. Indonesia komponen yang memiliki score terendah adalah kepabenanan yang hanya sebesar 2.53, yang kemudian di ikuti oleh score infrastruktur sebesar 2,54 sebagaimana terlihat pada Gambar 3.2. di bawah ini.

Kemudian score tertinggi untuk komponen Indonesia adalah ketepatan waktu, scone ini hampir sama dengan negara Vietnam dan Thailand yang berada di atas kita untuk total score LPI-nya.
Dilihat dari semenjak LPI di buat pada tahun 2007 Indonesia mengalamai peningkatan maupun penurunan score LPI sebagaimana terlihat pada Gambar 3.3. di bawah ini, pada tahun 2007 Indonesia berada pada rangking 43 dengan score 3,01, kemudian peringkatnya menurun menjadi peringkat ke 75 pada tahun 2010 dan kembali naik menjadi peringkat 59 dengan score LPI sebesar 2,94..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar